Kaleidoskop 2023

Tidak berasa sudah di penghujung tahun 2023. Saya ingin menutup tahun ini dengan memiliki sikap optimis walaupun di tahun ini, saya tidak selalu merasakan optimisme tersebut :). Tapi mungkin, sebagaimana hal yang saya pelajari dari salah seorang sahabat, optimis membantu kita mampu memberikan manfaat (tanpa merasa dimanfaatkan) dan tanpa menjadi -istilah sekarang-positif yang toksik.

Salah satu highlight saya tahun ini adalah mengenai pekerjaan. Ada suatu kejadian terkait pekerjaan yang cukup membuat saya demotivasi. Kejadian ini membuat saya mempertanyakan diri sendiri seperti apakah saya adalah seorang yang haus jabatan atau saya orang yang tidak bisa memanajemen resiko atau terburu buru dalam pengambilan keputusan atau penakut dan tidak bisa mengendalikan emosi. Nah, setelah kejadian ini, ada rentetan kejadian lain soal pekerjaan yang mempengaruhi reaksi saya terhadap lingkungan kerja.

Jika saya pikir kembali, mungkin masalahnya adalah ekspektasi. Saat saya berpikir apa yang bisa saya lakukan untuk mengatasi masalah, saya jadi sadar bahwa saya memiliki keterbatasan pilihan dan ini membuat saya frustasi. Less choice made me felt powerless and powerless made people feel awful. Ketidaksesuaian kenyataan dan ekpketasi diikuti ketidakberanian mengambil tindakan ekstrim, akhirnya mempengaruhi motivasi dan kinerja saya. My view regarding this happenstance change flip flopping along with my mood. Sometimes I was grateful but other times I just feels awful.

Hal lain yang membuat saya cukup frustasi ialah kesehatan orang tua saya, terutama ibu saya. Dengan usia yang tidak muda, orang tua saya sudah di atas 75 tahun, tentu kesehatan beliau tidak se sehat waktu muda dulu, tapi saya selalu punya pikiran bahwa orang tua saya akan selalu ada menguatkan saya, when it role was reversed I didn’t know how to deal with that. Saat penglihatan ibu saya bermasalah dan tidak ada yang bisa saya lakukan untuk mencegahnya, saya tidak tahu harus bagaimana. Kesehatan ibu saya sangat mempengaruhi seluruh anggota keluarga di rumah. I also felt pressured by the a time limit that imposed directly or indirectly by other or maybe circumstances to check another life goal such as pursue another postgraduate degree, marriage and breeding. That led me to skip meal, easily frustrated and in my head there was this thought that said it was futile to think everything will be better as the time goes on.

However, at the second half of this year, many good thing come too. After my mother left eye cataract surgery that kind of chaotic in 2022, in the beginning of 2024 my mother undergo another cataract surgery, the right eye. And there was significant improvement that lift my mother spirit. And this kind of affecting me.

I also learnt from a friend of mine who just being made me reflect about my ungrateful complaint and daily frustration. Teman saya ini, yang selalu memberikan terbaik versi dia dalam kegiatan apapun, tidak menuntut apresiasi, dan bahkan dalam kondisi fisik yang tidak terlalu ideal selalu bersyukur bahwa dia masih bisa bermanfaat untuk orang lain, yang selalu membuat saya tertampar.

When I think about life in general, life is about overcoming obstacle after obstacle. Experience after experience. If we were not privileged enough, it meant experienced one bad experience after bad experience. But, it was the islamic faith and saying that gave me some peace of mind. Saya seneng bacain nasihat di bawah ini, yang saya tangkap dari platform Quora. And I believe every obstacle we encountered in life was a hidden lesson that helping us to become a better person. I hope so.

Perempuan yang tidak sempurna

Bermula dari film….

Di bulan Juli, ada dua film yang menarik perhatian banyak orang-termasuk saya: Barbie dan Oppenheimer. Mengingat Barbie memiliki genre yang lebih ringan dan ulasan yang bagus, saya akhirnya menonton film Barbie bersama salah seorang sahabat. Film bergenre drama komedi dengan warna-warna cerah sepanjang film ini-menurut kesotoyan saya-merupakan film yang berhasil membawa warna warna, komedi, alur cerita yang rapi, dan pesan mendalam yang cukup mengena kepada penonton.

Salah satu ide yang saya tangkap dari film ini – yang paling membekas- ialah konsep menjadi manusia ala sang Direktor-yang lagi lagi menurut kesotoyan saya-dimulai dengan adegan dimana Barbie stereotip dianggap ‘bermasalah’ saat kakinya yang biasanya jinjit jadi menyentuh tanah. Menjadi “manusia” artinya menjadi tidak sempurna, akan menua dan suatu saat akan mati. Saat kita menyadarinya, saat itulah kita sadar bahwa kita itu cuma “manusia”. Ketidaksempurnaan manusia, masalah yang ada, dan waktu kita yang terbatas yang membuat ‘real world‘ menjadi berharga untuk dijalani.

Ide lainnya yang saya tangkap dari film ini-dan cukup eksplisit disampaikan di sepanjang film ialah konstruksi sosial membuat menjadi perempuan (dan laki-laki) tidaklah mudah apapun perannya. Hal yang mengingatkan saya dengan filmnya Greta Gerwig yang lain: Little woman, dimana Jo, si tokoh utama yang menyerahkan novel karangannya ke seorang editor dan si editornya meminta novel dari kisah ini harus diakhiri dengan pernikahan atau kematian tokoh utama. Karena begitulah yang diinginkan oleh masyarakat atau pembaca.

Kasus dari anak perempuan seorang mantan penyanyi terkenal di Indonesia..

Di bulan ini, salah satu kasus anak perempuan dan ibunya yang mantan penyanyi dibicarakan di banyak kanal berita. Suami si ibu dipenjara akibat kasus pelecehan ke anak tirinya. Semakin heboh, saat netizen menangkap seakan akan si ibu tidak membela anaknya. Kasus yang menurut saya menyedihkan.  Saya sama-sama sedih saat mendengarkan cerita anak dan ibunya lewat podcast yang sengaja saya tonton akibat kekepoan saya akan kasus ini, membayangkan hal yang harus dialami si anak, betapa kompleks situasi dan perasaannya akibat kejadian itu. Membayangkan si ibu, yang mantan penyanyi ini-yang menceritakan perjuangannya menghidupi kelima anaknya dengan menjual pisang goreng dan sepertinya ingin terlihat baik baik saja sebagai seorang ibu-kemudian dihujat oleh netizen. Hidup mereka jadi tidak baik-baik saja karena seorang pria gagal menjadi a  decent human being.

Cerita sahabat perempuan yang bekerja…

Di minggu ini ada teman saya yang cerita mengenai overload dan burn out di pekerjaannya. Satu orang masih belum berkeluarga dan satu orang lagi ibu dengan satu anak. Dua duanya sama sama perempuan bekerja, satunya bekerja di instansi pemerintah dan satunya lagi bekerja sebagai karyawan swasta

Sahabat saya yang masih lajang mengeluh akan rekan kerja sesama perempuan juga. Dengan emosi teman saya ini bercerita

“Bukannya gak punya empati ya, masa lima kali punya anak, artinya hampir lima tahun berturut turut kan dikasih keringanan. Selalu dikasih pemakluman kalau harus pulang cepat, kerjaan dilimpahkan ke yang lain. Lah yang jadi korbannya kan gue, yang single ini. Dia selalu bilang keluarga yang utama. Kalau kayak gitu kenapa gak resign aja. Ini mau juga duitnya dan tunjangannya yang jauh lebih besar dari gue, tapi untuk kerjaan dikerjain ala kadarnya sehingga membebani yang lainnya”.

Akhirnya pembicaraan kamu pun melenceng ke karir suami vs istri sesudah menikah, dan betapa sulitnya menjaga keseimbangan rumah tangga serta finansial di tatatan konstruksi sosial sekarang ini.

Sahabat saya yang satu lagi bercerita tentang posisi barunya di tempat kerja yang sudah sepuluh tahun ini dia geluti. Bagaimana tidak menentunya jam kerja yang mengakibatkan teman saya ini kerap kali pulang larut malam. Apalagi jika ada stock opname atau masalah di timnya. Jam kerjanya ini awalnya sering diprotes oleh anaknya. Tekanan dari pekerjaan yang juga cukup menuntut, juga berkontribusi terhadap jam kerja yang panjang.

Sahabat saya ini beruntung, karena dia tidak dituntut macam macam oleh suaminya. Malah suaminya- yang resign dari pekerjaan- sehari-hari mengurus rumah dan anak mereka satu satunya, dengan single income rumah tangga mereka ya dari pekerjaan teman saya ini. Teman saya nggak perlu mikirin harus masak apa sehari-hari untuk anak dan suami. Jikalau ada masalah di pekerjaan bisa curhat sampai nangis nangis ke si suami. Teman saya ini bilang, ini komitmen mereka berdua selama menikah. Kompromi dan komunikasi.

Sahabat saya ini bercerita, kalau posisi dia ini menggantikan salah satu kenalan dan rekan kerja, Mbak A, yang meninggal di usia sekitaran 35 tahun. Berbeda dengan teman saya, suami Mbak A ini masih membebankan pekerjaan rumah tangga kepada Mbak A. Jadi, pulang kerja yang seringnya malam, mbak A ini masih harus mengurus dua anak, mencuci baju, mengurus rumah, kadang sampai jam 1 pagi. Besok paginya si Mbak A ini harus masuk kantor pagi lagi. Mau resign, seperti kasusnya teman saya, rumah tangga mereka cuma punya single income yang tetap dari pekerjaan mbak A. Mbak A ini meninggal karena penyakit yang gak jelas diagnosanya apa. Kantor teman saya nyari pengganti mbak A dan suaminya sekarang sudah punya istri baru.

Final though

Saya pikir, mungkin inilah yang terkadang menjadi bahan diskursus tentang perempuan dalam tatanan masyarakat. Bukan tentang menyamakan semua hal tentang laki-laki dan perempuan, namun melihat laki-laki dan perempuan sebagai sama sama manusia, yang sama sama bertanggung jawab akan hidup dan pemikirannya sendiri, sama-sama butuh orang lain, dan harus berkompromi dalam hidup. Manusia yang sama-sama tidak sempurna dan selayaknya menghargai manusia lainnya juga. Perempuan dan laki-laki nggak perlu menjalani peran seorang manusia super. Tidak harus berlindung di balik konstruksi yang menihilkan nilai kemanusiaan karena perannya sebagai laki-laki atau perempuan.

Jakarta, not merely a city

Pertama kali saya ke Jakarta ialah saat sekolah dulu. Kesan pertama saya tentang Jakarta ya jauh lebih maju dan modern dibanding kota kota Sumatera. I thought-that day- Jakarta merely a city. Ada satu pesan dari walikota yang waktu itu saya ingat. Beliau meminta kami untuk sering sering mengunjungi Jakarta tapi berpesan jangan bercita-cita untuk tinggal di sana.

Beberapa tahun kemudian, setamat sekolah, saya merantau ke kota satelitnya Jakarta: Tangerang, Bogor, Depok. Saya nggak pernah tinggal permanen di jakarta, hanya pernah kerja dan punya anggota keluarga yang tinggal di metropolitan itu. Beberapa kali mondar mandir entah untuk kerja, main, bertemu teman, mengunjungi keluarga. How that experienced change me. That city, until today, is still one of my biggest heartbreak.

I ever cried my heart out because seeing an old man struggling in the city, but knowing in my head, no matter how hard he tried, nothing can change. There is nothing kind about trying in Jakarta. Plus if you are poor, you just have to be happy with the crumb of Jakarta offer you. No matter how much more subpar it was with the image of childhood living city dream.  You live with normalizing long hour commuting, parent shouting to their child in public area, and the fact that you most probably become poorer if you already are. You are just clueless but still trying, because if you didn’t how could you face this city? If you come here bring some city dream and destination, this place somehow got to have a way to shatter it, but you could not let go your hope. Well, and how you cried can change that, you just as helpless to change the multilayered root cause that should make Jakarta can be called a city for human being.

Jakarta give many experience and too much heartbreak until I, in my final year living in Detabek area, didn’t felt the same as the first month I came. I got accustomed with people not offering a seat for the elder, with narrow and dark alley in the slump, and how i didn’t find the irony of living either too modern to my conventional value, nor the social class segregation in Jakarta. It numb me. I fear for my self that I will be a different person the longer I got accustomed with the city. That I wouldn’t have that heart left in me because I was too draining and  too damn exhausting to figure out how the value that I had, clash with the challenge of this city. I ever felt how fool I was to have the though that I could overcome this metropolitan with what I have in me.

Surely, Jakarta has its charm and you can got sucked in, but then when you see out of it, it was this question about living, about fairness, about privilege, about humanity, that looming in your head that you should to push farther away. You can have many reason to leave but you somehow can’t leave and then you realize the ability to leave somehow a privilege.

In July, I visited Jakarta. How different it was seeing this city from a visitor perspective-with limited time to stay-and from a residence perspective. The glam, the fast changing, the technology update. Well, maybe I was-still-too weak at heart to face the city named Jakarta.

Defining Ourselves

A though about a group of friend

Two days ago, there was some event in a community of mine that lead me to think  about “defining ourselves”.  To give it context, in this community, we had one similar background: alumnae who graduate with the same title from the same year and university. However, now we were have the very diverse real life problem, real life profession, and most of us only connected through social media. There was this lack of the ‘cohesiveness’ that we were once had before.

It was my perception about the kind of conversation that made the group ‘alive’. Like any social media, we don’t talk at all about hardness we face in life (Who would do that anyway). But we tend to make ourselves feel better to talk about our achievement in life, maybe it was the talk about our positions in society, our current job, how much we were willing to  financially contributing for good cause. I didn’t think we do that consciously or bluntly.  And I also didn’t think maybe we do that to belittle the other. But, as our brain was designed to asses everything relatively, we began to see ourselves in comparison. So, there was some friend of mine that either told me  about the ‘insecure” feeling she had or totally be a different personality to adhere to the group or other social construction.

I guess it just how life would be evolve.

A thought about a friend

It was in this past month, I received the news that a  friend of mine got cancer. Sometimes, I believe there was a moment in life that words can’t comprehend how complicated the experienced was. Maybe one of those times was from the time I’ve got that shocking cancer news to the event followed and even the event preceded that. When she told our friends in whatsapp group how she appreciated our colleague who remember her, pray for her, and show concern about her condition, that pang of sadness engulfed me again because I felt this kind of devastation that felt I didn’t even deserve to feel.

But she cope it with the dignity she already has in the time I known her. That how I was going to define her. How she always has this fighting spirit: that we were allowed to felt sad, that our life was not the picture perfect story with happy journey and happy ending, but it was important to have grit, to never give up and have the ‘grateful’ mindset. How she has this consistent perspective in this life without preaching or having ‘toxic positivity’ some people rant about never cease to amaze me.

And there was this conversation that I have one night…

Wouldn’t it be sad if we were define by our profession, our title, and our money as a person? That we were only respected as human because of that. What left of us if we were lose our job, if we don’t have much money, and if we don’t have any achievement in life? Are we going to become ‘less’? Aren’t we yearn to be respected as human just the same?

And this is the kind of question that toying in my mind….

Shouldn’t we were define ourselves as this kind of value, the kind of character that made us grow as a person? that we were able to relatively compare to our past selves?  That we were respect other because they deserve that as human who tried, who respect each other, not because the title, the money, nor the position they had. 

Don’t it felt sad that if we were valued someone by their possession and achievement then it will be the reason people are going to strive in life. We are going to told the younger person that hard work, being gritty, being kind, and have bravery are meaningless, because that was more important to achieve something than to grow, to have the possession and position, not personality and drive, no matter how.

Maybe it wasn’t inevitable to make the possession we had to correlate with how we are going to be treated in life. Maybe it was the bitter truth of life, but wouldn’t it be sad if we succumb to that though anyway? 

End Year Note

Saya pikir khasnya tahun ini adalah era post covid. Bukan karena gak ada lagi covid atau udah ketemu obatnya, tapi karena aktivitas sudah kembali mirip dengan era sebelum dikenalnya istilah covid dan virus baru SAR COV 2 itu. Peninggalan masa covid masih ada dan pengaruh peninggalan ini sepertinya akan tetap bermakna dalam kehidupan sehari-hari, namun tanpa adanya pembatasan ruang gerak, saya setidaknya merasa bahwa era pandemi covid terparah sudah berlalu. It felt good, walau kita masih tetap harus waspada.

Dalam kacamata yang lebih personal, tahun ini juga tahun saya mulai pekerjaan  penuh waktu yang baru. Mungkin karena tipe dan jobdesk  kerjaan saya yang sekarang masih mirip dengan kerjaan penuh waktu tahun lalu,  lokasi pekerjaan yang familiar, mungkin juga karena pindah hampir menjadi rutinitas saya beberapa tahun belakang, the newness of this job didn’t felt too daunting.

Other remarkable event that happened  this year is my mother’s ophthalmic surgery. The day I’ve got to went back and forth between doctors and cities, and the result didn’t come as good as I hope it be. The rapid deterioration of my mother eyesight was a common thing for women in her age but -off course-I couldn’t help the helpless and frightening feeling that sometimes surfacing those days.

Tahun ini, juga tahun di mana saya menilai perubahan kepribadian saya yang cukup drastis. It just come to that realization. I always an introverted kind of person. Meet people, old and new make me exhausted ( but it also exciting at the same time).  I never bother to reach out first but somehow this year I reach out people more than I can ever imagine-more than I think I could handle. I noticed this different pattern  accelerated after  my first job experience, probably my not so long volunteering and freelance job- that enforced me to become more sociable-also contribute to that. I kind of feel this is good thing- maybe.

But I realized I read less and also write less in my diary during this year. Buying book felt like an extravagance. Well, although maybe I still could not afford any extravagancy, I hope I can read and write more in the year to come. Hence become the member of public library in the district become my resolution.

I engulfed in good thing this year, I was grateful and I hope next year can bring a lot of good and fun things too. I also wish I can learnt a lot and enjoy life in the next year.

What my 10 years diary told me

I have been writing in a diary since I was 14.  Last month, I wrote on the last page of my almost ten years diary and these days I found myself rereading through its pages.

I wrote mostly about what I felt and what I think. I also wrote about the event that evokes those feeling or thoughts, but I never wrote detailed enough. I never wrote in an eloquent manner nor consistent schedule. I did not care about how I wrote: bad grammar, confusing sentences, and messy paragraphs. I wrote like I need to. Writing diaries is like therapy. It was my most personal writing, evolve with me, and not all of it is worth enough to be retelling and to share. Some were just gloomy enough that I was glad I got through those times.

However, there was some phrase and event I found impactful and I would like to reminisce about that part of me. And for that such of phrase, I wrote this post. The phrase wasn’t a beautiful, poetic or earth shattering kind of thing, but rereading it made me feel kind enough to myself. Remind me of what kind of person I achieve to be.

Here are some of my 10 years diary told me:

  • Dream and determination makes you look interesting.
  • Many thing that I didn’t recognize back then, didn’t feel grateful back then. How was I suck up in my misery and the kind of tiny feeling when in truth I learnt a lot and that was a blessing.
  • Despite our outward persona, we all have a ghost, fear, and we fight our own battle.
  • I wonder why. Life is a mystery, rite? When it was given some people feel like it wasn’t worth to living for. When it was almost taken, there was slightly hope in surviving that give any reason to hold. Maybe if I waste my life, I indebted people whose dream and life were taken away only by slightly second between life and death. How come human not fearful of death, I imagine. If we fear death, shouldn’t we try our best today?
  • I don’t want someone who doesn’t want me. And it was okay too. Because hey, he is not that great.
  • Sometimes I hate it. I keep asking why life is so damn unfair. But in the end I never found any conclusions. So I accept it as it is. I do hope every people can be happy. It was life that never meant to be fair.
  • I just wonder why we always want more? Is it bad to want more? But I guess I always thought that it was never bad to wanting more.
  • Why don’t we tried to be an ordinary human who made mistake, who failed, but also admirable and kind at the same time?
  • Do I like myself more? Do I become a better me by cause of those feeling I decide to harbour. Why don’t I just fight my best towards my purposes? Why should I made another person achievement to be my standard when I know I am not happy with that?
  • Living is hard. Sometimes we just couldn’t understand about this world that brought us too much pain.
  • I still couldn’t fathom about the right path to be chosen. But in our most emotional experiences it was nice to have someone to talk to.
  • I know I was not always made the right choice. But at every choice I made, consciously or not, the mistake I made it was mine to begin with. That was my pride to be true to myself. So when people try to drag it down, I wonder what left of me then?
  • I guess human is about changing and learning. The realization that we spent our life without learning or changing feel sad to me. Maybe that’s what made me feel uneasy.

Pengalaman pendaftaran sekolah pascasarjana

Saya pernah tiga kali mendaftar sekolah pascasarjana, dua sekolah pascasarjana dalam negeri: Teknik Biomedik ITB pada tahun 2014, Ilmu Kefarmasian UI pada tahun 2017 serta satu sekolah pascasarjana luar negeri: Pharmaceutical Modelling Uppsala University di tahun 2016. Dari pendaftaran ketiganya, masing masing punya proses sendiri, yang berbeda beda.

Sebelum mendaftar sekolah pascasarjana, baik dalam negeri maupun luar negeri, perlu mengetahui dulu persyaratan pendaftaran untuk bisa diterima di universitas yang bersangkutan. Jadi kalau sudah punya target bidang dan universitas yang dituju, dan sudah memutuskan untuk lanjut ke jenjang Master, persyaratan penerimaannya di website fakultas/universitas target harus disimak.

Tahapan awal biasanya selalu dimulai dengan penyiapan dokumen. Ijazah dan transkrip nilai saat sarjana merupakan dokumen yang wajib ada saat pendaftaran. Untuk kampus luar negeri dokumen tersebut harus dalam Bahasa Inggris. Sistem grading saat sarjana untuk beberapa universitas luar juga harus menjadi perhatian, karena belum tentu sistem gradingnya sama dengan di Indonesia, dan beberapa bidang justru mensyaratkan nilai grading minimum. Untuk di Uppsala University, nggak perlu dilakukan konversi dari sistem grading ke sistem sana, jadi cukup Bahasa di ijazah dan transkrip yang dikonversi ke Bahasa Inggris. Kalau gak punya ijazah atau transkrip berbahasa inggris, tinggal minta tolong untuk cetak versi bahasa inggris ke Universitas asal saat sarjana.

Dokumen lain yang umumnya diminta sebagai syarat melanjutkan pascasarjana ialah sertifikat bahasa. Untuk melanjutkan ke luar negeri, selalu diperlukan sertifikat IELTS dan TOEFL(bukan TOEFL itp). Walau sudah punya sertifikat, namun perhatikan juga skor yang disyaratkan, baik skor rata-rata atau skor per bagian tes. Persyaratan skor minimum bisa beda beda antar universitas maupun antar bidang. Untuk mendaftar ke ITB masih bisa menggunakan sertifikat TOEFL ITP sementara di UI, tidak diminta sertifikat TOEFL/IELTS, namun harus mengikuti ujian Bahasa Inggris dengan format mirip TOEFL minus bagian speaking.

Beberapa bidang dan universitas mensyaratkan adanya surat rekomendasi. Untuk pascasarjana ITB, diperlukan surat rekomendasi, tapi tidak untuk UI maupun Uppsala University. Beberapa bidang dan universitas (terutama luar negeri), termasuk Uppsala University, juga mensyaratkan adanya statement of intent. Statement of intent merupakan suatu gambaran ringkas dan padat mengenai latar belakang yang memicu ketertarikan untuk melamar program, tujuan melamar program, seberapa jauh mengenal program yang ditargetkan. Statement of intent merupakan salah satu hal yang paling menentukan apakah si pelamar akan diterima atau tidak. Tulisan tersebut bukan sekedar menonjolkan pelamar secara akademik atau menonjolkan kemampuan si pelamar dalam bahasa tulisan, namun juga memberikan representasi sifat personal dari si pelamar. Jadi pentingnya statement of intent tidak perlu diragukan lagi. Untuk mendaftar ke UI dan ITB, masih belum memerlukan statement of intent.

Nilai TPA, merupakan syarat selanjutnya yang perlu dipenuhi jika ingin mendaftar sebagai mahasiswa pascasarjana ITB. Nilai TPA yang diakui ITB hanya dari TPA bappenas yang juga bisa difasilitasi oleh ITB. Untuk mendaftar ke UI tidak ada tes potensi akademik, namun harus mengikuti ujian tulis SIMAK UI. SIMAK UI ialah ujian tulis yang mencakup soal TPA, matematika dan bahasa inggris. Baik TPA Bapennas maupun SIMAK gak boleh dianggap remeh, karena menurut saya pribadi soalnya lumayan susah😁.

Beberapa universitas luar negeri maupun dalam negeri mensyaratkan adanya tahapan uji wawancara. Di ITB uji wawancara diperlukan untuk melamar sekolah pasca namun tidak di UI. Di Uppsala University tidak ada tahapan wawancara.

Persyaratan penting lainnya yang selalu ada untuk penerimaan mahasiswa baik universitas dalam negeri maupun luar negeri ialah biaya pendaftaran. Ada hal yang perlu diperhatikan juga saat pembayaran, bukan sekedar jumlahnya bayaran. Universitas dalam negeri biasanya memiliki kerjasama dengan bank lokal untuk mengatur biaya ini, sementara untuk luar negeri pembayaran hanya bisa dilakukan dengan kartu kredit/PayPal.

Dugaan saya pribadi, nilai kritis penerimaan di UI ditentukan di SIMAK, di ITB ditentukan di TPA dan wawancara, sedangkan di Uppsala University ditentukan di statement of intent. Saya paling nyaman mendaftar pascasarjana di Uppsala University, karena proses keseluruhannya online. Kalau di UI harus datang ke kampus UI untuk ujian, ITB juga harus datang ke kampusnya untuk wawancara.

Pascasarjana UI dan ITB hanya boleh melamar untuk satu bidang studi, sementara untuk Uppsala University dan Universitas Swedia lain bisa memilih tiga bidang atau universitas yang berbeda. Memang di Swedia sistem pendaftarannya, baik sarjana atau master di satu pintu, namun tetap syarat syarat antar bidang bisa berbeda.

Untuk bukti penerimaan universitas di luar negeri berupa Letter of Acceptance (LoA). LoA ada dua: unconditional dan conditional. LoA yang merupakan dokumen bukti pernyataan diterima sesungguhnya ialah unconditional. LoA conditional menyatakan penerimaan bersyarat, dengan syarat yang harus dilengkapi untuk memastikan memperoleh posisi di universitas tersebut.

Mereka yang punya niat mendaftar sekolah pascasarjana juga harus peduli dengan jadwal penerimaan, karena biasanya dalam setahun ada dua kali pendaftaran yang dibuka pada waktu waktu tertentu. Kalau kelewat, harus menunggu di periode selanjutnya.

Untuk penutup, pendapat saya lagi ini😅, sebenarnya mendaftar kuliah pascasarjana tidak rumit jika langkah langkah dan persyaratannya diikuti sebaik mungkin.

A Good Deed

Kadang-kadang, ada satu hal baik yang dilakukan orang lain tetapi bisa memberikan efek yang cukup besar untuk seseorang dan memberi kesan nyantol di hati dalam waktu yang lama. Padahal, mungkin bagi si pelaku hal itu merupakan hal kecil sederhana remeh temeh.

Salah satu peristiwa dimana saya menjadi penerima kebaikan penuh kesan ini terjadi saat proses penelitian. Satu hari salah satu spare part hplc tidak bisa dipakai karena aus. Barang spare laboratorium sespesifik seperti ini gak mungkin bisa saya temuin di marketplace dan berfungsi baiknya alat ini sangat krusial untuk kelanjutan penelitian saya. Masa itu finansial saya juga gak sebaik saat sebelumnya. Dalam kebingungan, saya menceritakan masalah saya ke salah seorang teman. Teman saya ini menyarankan saya untuk menghubungi kenalannya, seorang teknisi alat laboratorium untuk sekedar nanya dimana saya bisa memperoleh spare part yang dimaksud. Long story short, kenalan teman saya ini malah ngasih spare part tersebut double dan gratis untuk saya. Gak bersedia diganti bahkan untuk ongkos kirim sekalipun. Saat kebingungan dan banyak nanya soal pemakaiannya pun, dia sampai menawarkan asistensi gratis karena merasa bagian dari pekerjaan dia sebagai teknisi alat yang dipakai lab (yang tentu saja saya tolak). Saya nggak pernah ketemu sama orang ini sebelumnya dan orang ini beneran gak bakal dapat apa-apa bantuin saya. Saya terharu sekali. Saya ndak pernah sekalipun ketemu bahkan tahu bentuk wajah penolong saya ini, tapi bantuan yang diberikan luar biasa banyaknya.

Sebenarnya kalau dipikir hal baik dari orang lain yang kadang tidak saya sadari banyak yang saya dapatkan. I took them for granted.

Saya cukup skeptis dengan hubungan antar manusia. Dulu, salah seorang kolega saya pernah bilang bahwa hubungan antar manusia ini hanya dihubungkan dengan ‘kepentingan’. People doing something that benefit them-or that they see it would. Namun, persepsi saya banyak berubah karena kebaikan kebaikan di sekitar saya. Saya percaya orang baik yang tulus bener bener ada dan kalaupun ‘kepentingan’ yang menjadi dasar suatu hubungan, I guess it isn’t necessary a bad thing. Manusia dengan kebaikanlah yang sering memberi harapan dalam hidup yang gak mudah (dan kadang saya pikir kejam) ini.

I wish I will stay true to that kind of kindness and sincerity too, somehow.

See You Again, Bukittinggi

Kota Bukittinggi merupakan kota yang sempat saya tinggali selama 2020 hingga 2021. Untuk saya pribadi, kota ini jadi kota ideal untuk settle saking nyamannya saya dengan Bukittinggi dari udaranya yang sejuk, nilai dan jejak sejarahnya, hingga komunitas warganya yang menyenangkan. Sayang, kurang dari satu tahun saya tinggal di sini, saya harus meninggalkan Bukittinggi.

Kegiatan saya selama tinggal di Bukittinggi cukup terbatas karena pandemi, tapi pengalaman tinggal kurang dari satu tahun ini tetap menjadi pengalaman yang menyenangkan. Aktivitas saya di Bukittinggi  ini gak ada spesial spesialnya yaitu :

1. Working and resign

Selain menyenangi kota Bukittinggi, saya juga menyenangi pekerjaan yang saya jalani walaupun saya menjalaninya dalam waktu yang pendek.  Saya memutuskan resign salah satunya karena perbedaan nilai budaya saya dengan tempat saya bekerja.

2. Eat and feed up

Bukittinggi merupakan tempat kuliner paling oke se-Sumatera Barat (menurut saya). Ibukota provinsinya saja kalah jauh :). Saya nambah bobot hampir 5 kg dalam waktu yang singkat. Setelah tidak tinggal di Bukittinggi, bobot badan saya juga langsung berkurang drastis.

Kadang kadang saya mikir juga, apa karena saya melihat dari kacamata pendatang ya makanya Bukittinggi seems so livable :). Maybe it is. But I do hope I will  see you again and again someday, Bukittinggi.

End Year Note

Last year, 2020, was a long year, most remembered by covid pandemic. And after a year, 2021, seems didn’t make living with covid easier. I recalled that in the July/August the pandemic hit so hard in Indonesia because of Delta varian. There was a week in July when I heard everyday either people going sick, the urgent need of drug/blood supply, or people just dying. However, 2021 for me, not only the second/second half covid year but also a year when I quit my second full time job, the year I hold my graduation paper, the year I fully moved from west java, the year I wrote and publish two articles, the year I took manyyy online courses (although I didn’t finish some of them). This year maybe not a best one but I did live happy and I did learnt a lot.